Kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintahan SBY dalam kabinet bersatu di mata masyarakat belum memuaskan. Karena kebijakan ekonomi yang dirancang selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi dari kepentingan global. Akibatnya Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan salah satu negara besar di Asia. Indonesia gagal menjadi negara sejahtera walaupun ekonom-ekonom berpaham neoliberal berkuasa selama 40 tahun. Ini karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh ekonom-ekonom tersebut akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global.
Menurut saya tidak ada negara berkembang yang berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan mengikuti model Washington Consensus. Kemerosotan selama dua dekade di Amerika Latin (1980-2000), merupakan contoh monumental dari kegagalan tersebut. Model Washington Consensus merupakan garis kebijakan ekonomi yang percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan jika diserahkan kepada mekanisme pasar. Kalau di dalam agama ada fundamentalis agama, maka dalam bidang ekonomi ada fundamentalis pasar. Namun, ekonom neoliberal ini lebih banyak dogmanya dan keyakinannya daripada argumen-argumen yang empirik dan faktual. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Washington Consensus seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China yang berhasil meningkatkan kesejahteran masyarakatnya dan memperbesar kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil mengikuti model pembangunan Asia Timur, memberikan peranan seimbang antara negara dan swasta serta ketergantungan utang yang minimal. Sementara Indonesia dan Filipina yang patuh pada Washington Consensus mengalami kemerosotan ekonomi secara terus-menerus.
Parahnya, mengalami ketergantungan terhadap utang yang permanen, ketimpangan pendapatan yang mencolok, kemiskinan yang merajalela, dan kerusakan lingkungan yang parah. Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan undang-undang, strategi, dan kebijakan ekonomi. Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi, karena terpaku pada model generik Washington Consensus. Hasil tipikal dari model Washington Consensus, yakni siklus terus-menerus dari krisis ekonomi dan akumulasi utang, seperti yang terjadi di banyak negara Amerika Latin, Afrika, dan Indonesia. Di sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun ke depan akan sulit mencapai di atas 6 persen, kecuali Indonesia bisa mengubah paradigma dari kapitalis spekulatif menuju ekonomi produktif. Pertumbuhan ekonomi, enam persen sulit dicapai, kecuali kita mengubah paradigma untuk bisa keluar dulu dari krisis global.
Jika pemerintah berhasil menurunkan gelembung ekonomi secara perlahan dan teratur, maka dalam dua tahun Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi. Kapitalisme spekulatif sendiri dibuktikan dengan gelembung yang terjadi di pasar modal dan aliran modal asing di portofolio yang masuk. Akibatnya, orang bisa kaya dengan spekulasi dan perdagangan kertas saham, tanpa melakukan kegiatan produktif. Ini yang harus diubah. Untuk mendorong sektor riil, maka dibutuhkan manajemen yang memungkinkan pemerintah ikut campur tangan, sedangkan ekonomi pasar bebas percaya pada manajemen lepas tangan (hands off), yakni membiarkan pada mekanisme pasar. Jika perubahan paradigma ini dilakukan dan pemerintah fokus pada pembenahan sektor riil, maka dalam waktu sekitar 2 tahun, Indonesia sudah bisa keluar dari krisis. Ekonomi spekulatif yang sudah terlanjur menggelembung di Indonesia, harus diimbangi dengan penegakan hukum oleh pemerintah. Ini bertujuan agar Indonesia tidak dijadikan tempat spekulasi. Dicontohkan, aliran hot money pada 10 tahun lalu hanya sebesar 12,4 miliar dolar AS dan sekarang membengkak menjadi 24 miliar dolar AS. Bergantungnya pemerintah dan BI pada aliran hot money inilah yang membuat Indonesia tidak berdaya ketika aliran itu kembali ke negaranya. Ujung-ujungnya utang. Sementara itu, kebijakan likuiditas ketat yang dianut Bank Indonesia, malah akan memperparah perekonomian di tengah krisis finansial global.
Memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan 2010 hanya 3-4 persen. Apalagi pada 2009 ini, sulit mengandalkan investasi langsung dari luar negeri, sedangkan modal swasta dalam negeri juga sulit untuk ekspansi, karena kebijakan uang ketat yang diambil BI. Hal yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan adalah belanja pemerintah. Namun sayangnya, belanja pemerintah biasanya baru dikucurkan di akhir tahun.Pada bagian lain, Indonesia bisa melakukan pembangunan tanpa utang. Caranya, dengan melakukan efisiensi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang jumlahnya Rp1.300 triliun per tahun. Selama ini, 1/3 dari anggaran itu digunakan untuk membayar pokok bunga dan cicilan utang.
Parahnya, sebagian besar dari utang telah dikorupsi oleh para pejabat pemerintahan dan ini diketahui oleh Bank Dunia maupun negara kreditor. Jadi, utang ini bisa diklasifikasikan sebagai “utang najis” (odious debt) yang harus direnegosiasi ulang, sehingga beban rakyat berkurang. Namun, karena mental pejabat, Indonesia telah kehilangan tiga kali kesempatan untuk melakukan negosiasi, yaitu ketika transisi pemerintahan otoriter ke demokratis, kemudian perang melawan terorisme, dan ketika bencana tsunami. Pejabat Indonesia tidak mau meminta potongan pokok dan bunga utang ketika ada kesempatan historis tersebut.
KRITIK KEBIJAKAN EKONOMI DALAM
KABINET INDONESIA BERSATU
Selama SBY memimpin dalam kabinet indonesia bersatu memang mulus, tapi tidak membuat rakyat sejahtera, musibah semakin meluas, apakah ini cobaan atau kutukan? Kemiskinan semakin bertambah, pengangguran semakin banyak. SBY hanya mementingkan politik luar negeri tidak mementingkan rakyat kecil, SBY hanya ingin tebar pesona dimata dunia sedangkan rakyat indonesia, kesejahteraannya tidak terpenuhi, SBY terlalu mengikuti gaya politik amerika apalagi pemerintahan OBAMA, tapi rakyat tetap semakin susah. SBY memang memiliki gelar yang tinggi tapi belum tentu memiliki jiwa sosial yang tinggi, hanya ingin mencari perhatian dari seluruh dunia karena memiliki sifat bijak, tapi terbilang lambat dalam mengambil suatu keputusan, tidak tegas,tidak lugas, tidak cepat, tidak tepat. kenapa harus SBY Booediono bukan dari partai dan lawan politik, karena takut dimasa kepemimpinannya nanti tidak tergeser oleh Boediono, dan SBY ingin tetap berkuasa, sedangkan boediono tidak memiliki jiwa ambisius hanya terpaksa menjadi cawapres cuma ingin mencoba, gaya politik SBY yang tidak pro Rakyat, visi misi SBY Boediono tidak jelas termasuk plin-plan tidak mau beresiko.
SBY tidak pernah merasakan ikut bergabung dengan rakyat miskin selama hidup disibukkan hanya dg militer, jadinya tidak peduli pada rakyat kecil, selama ini rakyat kecil menginginkan sebuah perubahan yang sangat besar, karena orang miskin ingin merasakan apa yang dirasakan orang kaya, namun orang kaya tidak mau merasakan hidup susah. Saya berharap semoga KEBIJAKAN EKONOMI yang akan datang dapat mewujudkan mimpi-mimpi semua rakyat indonesia terutama rakyat kecil yang sangat menderita atas kebijakan yang menurut saya kurang tepat ini. Kemakmuranlah yang di inginkan semua rakyat indonesia.
PROSPEK ATAU SARAN
Terlampir beberapa prospek atau saran dalam kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-Budiono. Saya ingin menuliskan beberapa hal-hal di bawah ini, untuk kepentinggan kemajuan dalam bidang ekonomi. Dan, untuk bahan dalam memberikan sumbangan pada para pembuat kebijakan dalam pemerintahan Indonesia bersatu.
- Tinggalkan growth-oriented models. Pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan utama pembangunan. Jangan menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai target utama pembangunan. Selama ini terdapat asumsi bahwa tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, banyak hal, termasuk, mengurangi kemiskinan, tak dapat dilaksanakan. Sesungguhnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan jaminan pengurangan kemiskinan. Pengurangan kemiskinan dapat terjadi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Tentu saja, kita tetap membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Statistik Kemiskinan jauh lebih penting untuk dijadikan target pembangunan, daripada statistik pertumbuhan ekonomi.
- Untuk memberi perhatian yang lebih besar pada kemiskinan, statistik kemiskinan perlu dikeluarkan setiap tiga bulan.
- Selain kemiskinan secara ekonomi, pemerintah juga perlu memperhatikan kemiskinan non-ekonomi, khususnya kesehatan. Statistik status kesehatan perlu dikeluarkan tiap tiga bulan.
- Kesejahteraan masyarakat juga antara lain tercermin dari rasa aman. Salah satu indikator yang relatif mudah didapatkan adalah statistik kematian karena kecelakaan lalu lintas di kota kota besar di Indonesia. Maka, tiap tiga bulan, pemerintah perlu mengumumkan statistik kematian karena kecelakan lalu lintas di kota besar.
- Karena perubahan tidak terjadi dengan cepat, pemerintah dapat mengumumkan kemajuan dalam pendidikan setiap tahun sekali. Statistik sudah ada.
- Melihat pentingnya masalah lingkungan, pemerintah perlu membuat target perbaikan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah bagian dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan kurang artinya bila penduduknya harus menghirup udara yang kotor dan minum air yang tidak bersih. Statistik mengenai lingkungan hidup perlu dikeluarkan setiap 3 bulan sekali. Misalnya, tingkat polusi udara dan tingkat ketersediaan air bersih.
- Setiap tahun sekali pemerintah perlu melaporkan berapa banyak kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan merusak lingkungan tidak akan sustainable. Investor akan meninggalkan Indonesia begitu sumber daya alam kita habis dan lingkungan hidup kita sudah rusak.
- Belajar dari krisis global, dan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang amat besar, nomor empat di dunia, Indonesia perlu melepas dari ketergantungan pada export-driven growth model. Ekspor tetap diteruskan, tetapi ekspor jangan dijadikan andalan pembangunan ekonomi kita. LIhatlah ekonomi dalam negeri. Pasar Indonesia amat besar. B anyak negara kini mengincar pasar Indonesia, mengapa kita sendiri tidak melihat yang kita miliki?
- Foreign direct investment (FDI) tetap kita butuhkan. Namun, janganlah FDI dijadikan primadona pembangunan ekonomi. Negara lain sering mengatakan bahwa mereka ingin membantu kita dengan FDI. Yang sebenarnya terjadi, mereka ingin mendapatkan keuntungan dari kita, bukan untuk membantu kita. Maka, kita harus melihat dengan rasional sebelum menerima FDI. Dilihat untung ruginya, karena mereka juga dilandasi dengan perhitungan untung-rugi, bukan membantu.
- Penciptaan iklim usaha yang bagus sebaiknya diarahkan ke mereka yang bergerak di usaha kecil dan menengah, dan juga pengusaha besar dari Indonesia.
- Selama ini kita banyak memikirkan integrasi ekonomi dengan negara lain. Namun, kita sering lupa mengintegrasikan ekonomi dalam negeri kita. Dalam pemerintah yang baru, perhatian pada integrasi ekonomi dalam negeri perlu mendapat perhatian yang jauh lebih besar. Ini bukan protectionism. Dengan terintegrasinya perekonomian dalam negeri Indonesia, negara lain pun akan mengenyam keuntungan dalam berinteraksi dengan Indonesia.
- Orang berpendapatan rendah biasanya menghadapi angka inflasi yang lebih tinggi daripada mereka yang berpenghasilan lebih tinggi. Maka, target stabilisasi inflasi harus lebih diarahkah ke stabilisasi inflasi di kalangan pendapatan rendah. Data ini dapat dikeluarkan tiap bulan.
- Orang berpendapatan rendah biasanya juga kurang insentif untuk menabung, karena suku bunga yang tinggi diberikan kepada penabung dalam jumlah besar. BI (Bank Indonesia) perlu mengubah kebijakan, memberikan suku bunga yang lebih tinggi kepada peminjam kecil.
- Tinggalkan credit-led growth model. Selama ini terdapat asumsi bahwa credit expansion mendorong growth. Namun, kita sudah harus meninggalkan growth oriented model. Maka, credit expansion belum tentu bagus untuk pembangunan ekonomi kita. Belajar dari krisis global yang kini melanda dunia, kredit yang terlalu banyak telah dan akan membahayakan perekonomian dan ekonomi keluarga. Menurut peribahasa, ekonomi yang berdasarkan “besar pasak daripada tiang” tidak akan berkelanjutan.
- Kurangi atau tiadakan kegiatan ekonomi spekulatif, khususnya di sector keuangan. BI dapat memantau kegiatan spekulatif ini antara lain dengan melihat asset inflation. Maka, BI harus mentargetkan stabilisasi asset inflation, khususnya kenaikan harga property. Statistik asset inflation harus keluar tiap bulan.
- Bank kembali pada fungsi aslinya, yaitu intermediary antara saving dan investment. Bank tidak boleh melakukan kegiatan spekulatif di pasar keuangan.
- Pemerintah perlu melakukan pendidikan untuk meningkatkan financial literacy. Tiap produk keuangan perlu mendapat label “Produk ini mungkin berbahaya untuk kesehatan keuangan anda”.
Demikian saran atau prospek untuk kedepan semoga dapat di jalankan oleh para pembuat kebijakan, karena rakyat menginginkan sebuah perubahan, dan tidak ingin selamanya seperti ini. Sebagai pemimpin yang bijak harus mendengarkan suara rakyatnya, karena dengan mendengar suara rakyat dapat mengoreksi kekurangan dari kebijakan yang dibuat. Terima kasih.

