Powered By Blogger

Rabu, 27 Januari 2010

KEBIJAKAN EKONOMI

Kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintahan SBY dalam kabinet bersatu di mata masyarakat belum memuaskan. Karena kebijakan ekonomi yang dirancang selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi dari kepentingan global. Akibatnya Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan salah satu negara besar di Asia. Indonesia gagal menjadi negara sejahtera walaupun ekonom-ekonom berpaham neoliberal berkuasa selama 40 tahun. Ini karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh ekonom-ekonom tersebut akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global.

Menurut saya tidak ada negara berkembang yang berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan mengikuti model Washington Consensus. Kemerosotan selama dua dekade di Amerika Latin (1980-2000), merupakan contoh monumental dari kegagalan tersebut. Model Washington Consensus merupakan garis kebijakan ekonomi yang percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan jika diserahkan kepada mekanisme pasar. Kalau di dalam agama ada fundamentalis agama, maka dalam bidang ekonomi ada fundamentalis pasar. Namun, ekonom neoliberal ini lebih banyak dogmanya dan keyakinannya daripada argumen-argumen yang empirik dan faktual. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Washington Consensus seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China yang berhasil meningkatkan kesejahteran masyarakatnya dan memperbesar kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil mengikuti model pembangunan Asia Timur, memberikan peranan seimbang antara negara dan swasta serta ketergantungan utang yang minimal. Sementara Indonesia dan Filipina yang patuh pada Washington Consensus mengalami kemerosotan ekonomi secara terus-menerus.

Parahnya, mengalami ketergantungan terhadap utang yang permanen, ketimpangan pendapatan yang mencolok, kemiskinan yang merajalela, dan kerusakan lingkungan yang parah. Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan undang-undang, strategi, dan kebijakan ekonomi. Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi, karena terpaku pada model generik Washington Consensus. Hasil tipikal dari model Washington Consensus, yakni siklus terus-menerus dari krisis ekonomi dan akumulasi utang, seperti yang terjadi di banyak negara Amerika Latin, Afrika, dan Indonesia. Di sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun ke depan akan sulit mencapai di atas 6 persen, kecuali Indonesia bisa mengubah paradigma dari kapitalis spekulatif menuju ekonomi produktif. Pertumbuhan ekonomi, enam persen sulit dicapai, kecuali kita mengubah paradigma untuk bisa keluar dulu dari krisis global.

Jika pemerintah berhasil menurunkan gelembung ekonomi secara perlahan dan teratur, maka dalam dua tahun Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi. Kapitalisme spekulatif sendiri dibuktikan dengan gelembung yang terjadi di pasar modal dan aliran modal asing di portofolio yang masuk. Akibatnya, orang bisa kaya dengan spekulasi dan perdagangan kertas saham, tanpa melakukan kegiatan produktif. Ini yang harus diubah. Untuk mendorong sektor riil, maka dibutuhkan manajemen yang memungkinkan pemerintah ikut campur tangan, sedangkan ekonomi pasar bebas percaya pada manajemen lepas tangan (hands off), yakni membiarkan pada mekanisme pasar. Jika perubahan paradigma ini dilakukan dan pemerintah fokus pada pembenahan sektor riil, maka dalam waktu sekitar 2 tahun, Indonesia sudah bisa keluar dari krisis. Ekonomi spekulatif yang sudah terlanjur menggelembung di Indonesia, harus diimbangi dengan penegakan hukum oleh pemerintah. Ini bertujuan agar Indonesia tidak dijadikan tempat spekulasi. Dicontohkan, aliran hot money pada 10 tahun lalu hanya sebesar 12,4 miliar dolar AS dan sekarang membengkak menjadi 24 miliar dolar AS. Bergantungnya pemerintah dan BI pada aliran hot money inilah yang membuat Indonesia tidak berdaya ketika aliran itu kembali ke negaranya. Ujung-ujungnya utang. Sementara itu, kebijakan likuiditas ketat yang dianut Bank Indonesia, malah akan memperparah perekonomian di tengah krisis finansial global.

Memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan 2010 hanya 3-4 persen. Apalagi pada 2009 ini, sulit mengandalkan investasi langsung dari luar negeri, sedangkan modal swasta dalam negeri juga sulit untuk ekspansi, karena kebijakan uang ketat yang diambil BI. Hal yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan adalah belanja pemerintah. Namun sayangnya, belanja pemerintah biasanya baru dikucurkan di akhir tahun.Pada bagian lain, Indonesia bisa melakukan pembangunan tanpa utang. Caranya, dengan melakukan efisiensi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang jumlahnya Rp1.300 triliun per tahun. Selama ini, 1/3 dari anggaran itu digunakan untuk membayar pokok bunga dan cicilan utang.

Parahnya, sebagian besar dari utang telah dikorupsi oleh para pejabat pemerintahan dan ini diketahui oleh Bank Dunia maupun negara kreditor. Jadi, utang ini bisa diklasifikasikan sebagai “utang najis” (odious debt) yang harus direnegosiasi ulang, sehingga beban rakyat berkurang. Namun, karena mental pejabat, Indonesia telah kehilangan tiga kali kesempatan untuk melakukan negosiasi, yaitu ketika transisi pemerintahan otoriter ke demokratis, kemudian perang melawan terorisme, dan ketika bencana tsunami. Pejabat Indonesia tidak mau meminta potongan pokok dan bunga utang ketika ada kesempatan historis tersebut.

KRITIK KEBIJAKAN EKONOMI DALAM

KABINET INDONESIA BERSATU

Selama SBY memimpin dalam kabinet indonesia bersatu memang mulus, tapi tidak membuat rakyat sejahtera, musibah semakin meluas, apakah ini cobaan atau kutukan? Kemiskinan semakin bertambah, pengangguran semakin banyak. SBY hanya mementingkan politik luar negeri tidak mementingkan rakyat kecil, SBY hanya ingin tebar pesona dimata dunia sedangkan rakyat indonesia, kesejahteraannya tidak terpenuhi, SBY terlalu mengikuti gaya politik amerika apalagi pemerintahan OBAMA, tapi rakyat tetap semakin susah. SBY memang memiliki gelar yang tinggi tapi belum tentu memiliki jiwa sosial yang tinggi, hanya ingin mencari perhatian dari seluruh dunia karena memiliki sifat bijak, tapi terbilang lambat dalam mengambil suatu keputusan, tidak tegas,tidak lugas, tidak cepat, tidak tepat. kenapa harus SBY Booediono bukan dari partai dan lawan politik, karena takut dimasa kepemimpinannya nanti tidak tergeser oleh Boediono, dan SBY ingin tetap berkuasa, sedangkan boediono tidak memiliki jiwa ambisius hanya terpaksa menjadi cawapres cuma ingin mencoba, gaya politik SBY yang tidak pro Rakyat, visi misi SBY Boediono tidak jelas termasuk plin-plan tidak mau beresiko.

SBY tidak pernah merasakan ikut bergabung dengan rakyat miskin selama hidup disibukkan hanya dg militer, jadinya tidak peduli pada rakyat kecil, selama ini rakyat kecil menginginkan sebuah perubahan yang sangat besar, karena orang miskin ingin merasakan apa yang dirasakan orang kaya, namun orang kaya tidak mau merasakan hidup susah. Saya berharap semoga KEBIJAKAN EKONOMI yang akan datang dapat mewujudkan mimpi-mimpi semua rakyat indonesia terutama rakyat kecil yang sangat menderita atas kebijakan yang menurut saya kurang tepat ini. Kemakmuranlah yang di inginkan semua rakyat indonesia.


PROSPEK ATAU SARAN

Terlampir beberapa prospek atau saran dalam kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-Budiono. Saya ingin menuliskan beberapa hal-hal di bawah ini, untuk kepentinggan kemajuan dalam bidang ekonomi. Dan, untuk bahan dalam memberikan sumbangan pada para pembuat kebijakan dalam pemerintahan Indonesia bersatu.

  1. Tinggalkan growth-oriented models. Pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan utama pembangunan. Jangan menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai target utama pembangunan. Selama ini terdapat asumsi bahwa tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, banyak hal, termasuk, mengurangi kemiskinan, tak dapat dilaksanakan. Sesungguhnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan jaminan pengurangan kemiskinan. Pengurangan kemiskinan dapat terjadi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Tentu saja, kita tetap membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Statistik Kemiskinan jauh lebih penting untuk dijadikan target pembangunan, daripada statistik pertumbuhan ekonomi.
  2. Untuk memberi perhatian yang lebih besar pada kemiskinan, statistik kemiskinan perlu dikeluarkan setiap tiga bulan.
  3. Selain kemiskinan secara ekonomi, pemerintah juga perlu memperhatikan kemiskinan non-ekonomi, khususnya kesehatan. Statistik status kesehatan perlu dikeluarkan tiap tiga bulan.
  4. Kesejahteraan masyarakat juga antara lain tercermin dari rasa aman. Salah satu indikator yang relatif mudah didapatkan adalah statistik kematian karena kecelakaan lalu lintas di kota kota besar di Indonesia. Maka, tiap tiga bulan, pemerintah perlu mengumumkan statistik kematian karena kecelakan lalu lintas di kota besar.
  5. Karena perubahan tidak terjadi dengan cepat, pemerintah dapat mengumumkan kemajuan dalam pendidikan setiap tahun sekali. Statistik sudah ada.
  6. Melihat pentingnya masalah lingkungan, pemerintah perlu membuat target perbaikan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah bagian dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan kurang artinya bila penduduknya harus menghirup udara yang kotor dan minum air yang tidak bersih. Statistik mengenai lingkungan hidup perlu dikeluarkan setiap 3 bulan sekali. Misalnya, tingkat polusi udara dan tingkat ketersediaan air bersih.
  7. Setiap tahun sekali pemerintah perlu melaporkan berapa banyak kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan merusak lingkungan tidak akan sustainable. Investor akan meninggalkan Indonesia begitu sumber daya alam kita habis dan lingkungan hidup kita sudah rusak.
  8. Belajar dari krisis global, dan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang amat besar, nomor empat di dunia, Indonesia perlu melepas dari ketergantungan pada export-driven growth model. Ekspor tetap diteruskan, tetapi ekspor jangan dijadikan andalan pembangunan ekonomi kita. LIhatlah ekonomi dalam negeri. Pasar Indonesia amat besar. B anyak negara kini mengincar pasar Indonesia, mengapa kita sendiri tidak melihat yang kita miliki?
  9. Foreign direct investment (FDI) tetap kita butuhkan. Namun, janganlah FDI dijadikan primadona pembangunan ekonomi. Negara lain sering mengatakan bahwa mereka ingin membantu kita dengan FDI. Yang sebenarnya terjadi, mereka ingin mendapatkan keuntungan dari kita, bukan untuk membantu kita. Maka, kita harus melihat dengan rasional sebelum menerima FDI. Dilihat untung ruginya, karena mereka juga dilandasi dengan perhitungan untung-rugi, bukan membantu.
  10. Penciptaan iklim usaha yang bagus sebaiknya diarahkan ke mereka yang bergerak di usaha kecil dan menengah, dan juga pengusaha besar dari Indonesia.
  11. Selama ini kita banyak memikirkan integrasi ekonomi dengan negara lain. Namun, kita sering lupa mengintegrasikan ekonomi dalam negeri kita. Dalam pemerintah yang baru, perhatian pada integrasi ekonomi dalam negeri perlu mendapat perhatian yang jauh lebih besar. Ini bukan protectionism. Dengan terintegrasinya perekonomian dalam negeri Indonesia, negara lain pun akan mengenyam keuntungan dalam berinteraksi dengan Indonesia.
  12. Orang berpendapatan rendah biasanya menghadapi angka inflasi yang lebih tinggi daripada mereka yang berpenghasilan lebih tinggi. Maka, target stabilisasi inflasi harus lebih diarahkah ke stabilisasi inflasi di kalangan pendapatan rendah. Data ini dapat dikeluarkan tiap bulan.
  13. Orang berpendapatan rendah biasanya juga kurang insentif untuk menabung, karena suku bunga yang tinggi diberikan kepada penabung dalam jumlah besar. BI (Bank Indonesia) perlu mengubah kebijakan, memberikan suku bunga yang lebih tinggi kepada peminjam kecil.
  1. Tinggalkan credit-led growth model. Selama ini terdapat asumsi bahwa credit expansion mendorong growth. Namun, kita sudah harus meninggalkan growth oriented model. Maka, credit expansion belum tentu bagus untuk pembangunan ekonomi kita. Belajar dari krisis global yang kini melanda dunia, kredit yang terlalu banyak telah dan akan membahayakan perekonomian dan ekonomi keluarga. Menurut peribahasa, ekonomi yang berdasarkan “besar pasak daripada tiang” tidak akan berkelanjutan.
  2. Kurangi atau tiadakan kegiatan ekonomi spekulatif, khususnya di sector keuangan. BI dapat memantau kegiatan spekulatif ini antara lain dengan melihat asset inflation. Maka, BI harus mentargetkan stabilisasi asset inflation, khususnya kenaikan harga property. Statistik asset inflation harus keluar tiap bulan.
  3. Bank kembali pada fungsi aslinya, yaitu intermediary antara saving dan investment. Bank tidak boleh melakukan kegiatan spekulatif di pasar keuangan.
  4. Pemerintah perlu melakukan pendidikan untuk meningkatkan financial literacy. Tiap produk keuangan perlu mendapat label “Produk ini mungkin berbahaya untuk kesehatan keuangan anda”.

Demikian saran atau prospek untuk kedepan semoga dapat di jalankan oleh para pembuat kebijakan, karena rakyat menginginkan sebuah perubahan, dan tidak ingin selamanya seperti ini. Sebagai pemimpin yang bijak harus mendengarkan suara rakyatnya, karena dengan mendengar suara rakyat dapat mengoreksi kekurangan dari kebijakan yang dibuat. Terima kasih.

Selasa, 26 Januari 2010

Demokrasi Islam

Demokrasi Islam adalah ideologi politik yang bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip agama Islam ke dalam kebijakan publik. Ideologi ini muncul pada awal perjuangan pembebasan atas daerah di mandat Britania atas Palestina kemudian menyebar akan tetapi di sejumlah negara-negara dalam pratiknya telah mencair dengan gerakan sekularisasi.

Saat ini, memang demokrasi telah mendapat pasaran yang paling tinggi sebagai jalan keluar atas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Demokrasi, yang secara teorinya dimaksudkan sebagai suatu sistem yang dibentuk, dijalankan, dan ditujukan bagi kepentingan rakyat ini dalam tataran praktiknya akan sentiasa mengalami berbagai penyesuaian dan perubahan, sehingga seringkali penerapannya bersifat trial and error, atau sebagaimana yang dikatakan para pengusungnya, demokrasi itu bersifat projek. Hanya saja, perkembangan demokrasi di negara-negara muslim cenderung kelihatan kaku ataupun perlahan, sehingga dianggap oleh banyak pihak sebagai faktor utama yang telah menghalang kemajuan kaum muslim. Dan tentu saja, pemahaman Islam ortodoks berpengaruh dalam membentuk eksklusivisme hingga menyebabkan kebanyakan kaum muslim bersikap tertutup dari hal-hal yang berbau modernisme, di samping mereka juga terbuai oleh romantisme masa lalu. Oleh kerana itu, kaum muslim wajib menimbus semula kemunduran mereka menerusi binaan semula kefahaman Islam mereka. Mungkin gagasan rekonstruksi inilah yang menjadi pesan yang gigih disampaikan oleh mereka yang mahu menerapkan demokrasi ke dalam dunia Islam. Lalu ungkapan seperti “nilai demokrasi juga terkandung oleh Islam”, “demokrasi merupakan bahagian dari Islam”, ataupun “demokrasi adalah Islam itu sendiri” kerap dikumandang kebelakangan ini. Meskipun demikian, banyak pula para apologis muslim yang menolak adanya penerapan demokrasi ke dalam Islam, sebab menurut mereka, demokrasi dan Islam itu adalah dua hal yang berbeza dan tidak mungkin dapat disetarakan. Ini kerana, bagi mereka, demokrasi adalah pemikiran kufur yang tentunya haram untuk diamalkan oleh kaum muslim.

Lalu, bagaimanakah hubungan yang sebenarnya antara Islam dan demokrasi ini? Secara sejarahnya, gagasan demokrasi berasal dari budaya kuno Yunani yang mahu membentuk pemerintahannya yang dipimpin oleh ramai orang. Dan, pada tahun 508 SM, Cleisthemes mula-mula memperkenalkan dan melaksanakan sistem “pemerintahan rakyat” di Athens. Akan tetapi idea demokrasi itu muncul dan berkembang di Eropah sebagai jalan tengah dia atas pertikaian antara kaum gerejawan yang mahu pemerintahan diserahkan kepada raja yang dikatakannya sebagai wakil tuhan di dunia. Sbealiknya, kaum pemikir pula mahukan agar gereja jangan mencampuri kehidupan kerana sejarah abad kegelapan telah membuktikan betapa peranan gereja dalam kehidupan hanyalah melahirkan kediktatoran dan kesengsaraan bagi rakyat.

Pada saat itu demokrasi muncul untuk menyelesaikan pertikaian yang ada sehingga berlakunya kesepakatan antara kaum gerejawan, atau istilah yang lain, agamawan, dengan para pemikir. Keadaan akhirnya menentukan bahawa gereja/agama hanyalah semata-mata mengatur dalam tataran peribadi individu, sedangkan politik kenegaraan telah diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Jadi, idea inilah yang kemudian dikenal sebagai sekularisme (pemisahan agama dalam kehidupan) yang juga menjadi dasar bagi lahirnya idea kapitalis itu sendiri. Sehingga boleh dikatakan bahwa demokrasi itu lahir dari idea sekularisme yang notabene kepada ideologi yang telah lahir dari peradaban barat.

Walau bagaimanapun, seiring berjalannya waktu, konsep demokrasi turut mengalami perkembangannya. Dan demokrasi ini kemudiannya telah diserukan oleh banyak kelompok, di mana masing-masing dari mereka telah merumuskan makna demokrasi dan dikaitkan dengan akidah yang diyakininya, serta kemudiannya turut disesuaikan dengan tujuan-tujuannya. Kesannya, pengertian demokrasi menjadi beragam, sehingga menimbulkan jargon seperti demokrasi Islam, demokrasi sosial, dll. Hal inilah yang mendorong Robert Dahl dalam On Democracy mengungkapkan bahawa, ”demokrasi itu sebenarnya sering simpang siur.” Selain daripada itu, keadaan ini juga mencerminkan kebenaran tanggapan bahawa demokrasi itu sendiri sememangnya merupakan suatu masalah yang membingungkan. Ini bererti, masalah teori demokrasi saja sudah berdepan dengan kerencaman yang tiada penyelesaiannya. Jadi adalah wajar jika dalam tataran praktiknya demokrasi itu akan terus mengalami perubahan serta penyesuaian dengan suasana dan tempat sewaktu diterapkannya demokrasi tersebut.

Sehubungan dengan itu, timbul pertanyaan, bagaimana mungkin jika demokrasi yang bersifat membingungkan dalam tataran teorinya itu serta masih bersifat trial and error dalam tataran praktiknya mampu menjadi penyelesaian di atas permasalahan manusia yang kita tahu memang kompleks sifatnya? Bukankah itu sama halnya dengan ungkapan “menyelesaikan masalah dengan masalah? Sungguhpun begitu, Alija Izetbegovic, pengarang buku Islamska Deklaracija, juga sekaligus failasuf dari Bosnia & Herzegovina berpendapat bahawa “keunikan Islam adalah kerana ia mempunyai perspektif holistik di mana norma-norma agama adalah sebuah praktik politik yang korektif, sehingga agama itu sendiri menjadi wahana untuk memperbaiki kehidupan khalayak, dan bukannya mengkhianatinya”.

Rumusan Izetbegovic ini bermakna bahawa Islam itu mampu untuk muncul sebagai suatu aturan kompleks bagi mengatur seluruh aspek termasuk membangunkan sistem pemerintahan, dan hukum yang dijalankan adalah berdasarkan kepada sumber Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan hadith. Apa yang dirumuskan oleh Izetbegovic ini sebenarnya sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Lora Fraqlay bahawa “Islam adalah agama dan negara dalam erti yang sebenar-benarnya.” Ini berrtinya dalam menetapkan hukum, semuanya mestilah berdasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam sahaja tanpa adanya penerapan hukum-hukum dari luar Islam.

Dalam bukunya yang berjudul Seize The Moment, Richard Nixon yang juga mantan presiden Amerika Syarikat telah menjelaskan tentang bagaimana hubungan antara peradaban Islam dan peradaban barat. Nixon mengatakan bahawa “komunisme memang telah terbukti gagal, dan sebahagian pengamat telah memperingatkan bahawa Islam pula akan menjadi kekuatan geopolitik yang ekstrim. Ini kerana, umat Islam yang didukung oleh pertumbuhan pesat para penduduknya serta memiliki kekayaan sumber alam mampu untuk menjadi ancaman besar, sehingga memaksa bangsa-bangsa barat bersatu dengan Moscow untuk menangani bahaya dari dunia Islam ini”. Sebenarnya, pendapat Nixon ini menegaskan bahawa apa yang dimahukan oleh Islam dan Barat itu berbeza, malah bercanggah. Justeru itu, dari beberapa pandangan di atas, dapat kita simpulkan bahawa Demokrasi itu hakikatnya berasal dari pemikiran barat yang sekular dan tidak mungkin dapat disatukan dengan Islam, meskipun terdapat beberapa kesamaan antara Islam dan demokrasi. Mithalnya yang boleh kita nyatakan ialah: syura yang disamakan dengan musyawarah, surah al-Kafiruun yang disejajarkan dengan kebebasan beragama, dijaminnya kebebasan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya yang dianggap sama dengan kebebasan berpendapat, sejarah Islam bahawa khalifah telah dipilih melalui pemungutan suara yang kemudian disamakan dengan pilihanraya.

Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa, secara ideal maraknya regulasi tersebut bukan merupakan akumulasi dari kekuatan politik yang membahaykan sendi-sendi bangsa seperti dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Namun secara material UU tersebut cenderung akan menganggu dan beberapa di antaranya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama, berefek diskirminatif terhdap perempuan dan non-Muslim. Memang, jika prinsip-prinsip tersebut terakomodasi ke dalam hukum positif, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya apalagi jika

berkelindan dengan kekuasaan otoritarian. Dari sudut internal Islam sendiri juga menunjukkan masih kuatnya paradigmna ideologis dalam memandang hukum Islam dalam muamalah dan jinayah dan bukan ibadah (ritual) ketimbang menempatkannya sebagai pemecah masalah masyarakat kekinian. Maka, maraknya regulasi bernuansa aperlu ditempatkan dalam suatu tantangan besar yang menyita seluruh perhatian dan tenaga para gerakan pro demokrasi. Tetapi secara materi hukum (perda) harus menjadi perhatian serius dan ditangani secara kasuistik. Model-model respon terhadap fenomena demikian bisa menjadi pelajaran demokrasi yang berharga dan riil bagi masyarakat kita di Indonesia.

Minggu, 10 Januari 2010

KENANGLAH DIRIKU DALAM LAMUNANMU


IMPIKAN AKU DALAM TIDURMU


SAYANGI AKU DALAM HATIMU


INGAT AKU DALAM SETIAP HEMBUSAN NAFASMU


DAN JADIKAN AKU CINTA SEJATI DALAM HIDUPMU